Jumat, 09 Mei 2014

Satu lagi ilmu yang saya dapat dari "KELAS ONLINE BIMBINGAN MENULIS NOVEL"

Kelas EYD dan Editing, 9 mei 2014, Cintai Naskah Lama Kita, Part 1

Pemateri kelas ini adalah Bunda Zahra A. Harris

Diantara kita, adakah yang pernah membongkar file-file lama berisi tulisan kita di masa lampau?

Pernahkah menemukan setumpukan kertas folio bergaris yang warnanya sudah usang berisi cerpen lama kita yang ditulis tangan? File-file kita dalam MS Word versi jadul? Lalu, siapakah yang senyum-senyum sendiri membacanya? Terpikirkah betapa lucunya cerpen-cerpen kita lima-sepuluh tahun lalu dibandingkan cerpen yang kita hasilkan hari ini?

Eits, jangan remas begitu saja kertas-kertas itu. Jangan buang disket-disket zaman sekolah dulu! Ingat, kita akan selalu bisa mengolah kembali naskah-naskah lama dan mengemasnya dalam tampilan baru. Ini dia beberapa caranya!

1.   EYD

Walaupun hampir tak ada yang berubah dalam pedoman EYD yang kita pelajari dari tahun ke tahun, tetapi percayalah bahwa ada saja kesalahan yang bisa kita temukan dari naskah-naskah lama kita.

(a) Terlalu Gandrung Tanda Koma

Dulu, bahkan mungkin sampai sekarang—ada yang mau ngaku?—kita masih terlalu sering memakai tanda koma. Tanda koma memang lazim dipakai untuk memberi jeda pada kalimat-kalimat panjang. Sebaliknya, tanda koma yang terlalu banyak digunakan dalam kalimat, justru akan membuat pembacanya kelelahan, bingung, atau bisa jadi kehilangan makna dalam dialog.

Perhatikan kalimat ini:

“Oh, ya, hmm, aku mau tanya sama bapak yang pakai baju biru, deh, boleh, nggak, ya?”
“Kamu, kok, nggak capek, sih, Kak? Padahal, kamu, kan, baru datang, ya?”
“Eh, kamu sekarang sudah nggak ngantuk dong?”
“Iya, namamu, lho, yang dipanggil tadi!”

Ayo, perbaiki tanda baca di atas! Berhematlah tanda koma.
Kita tak perlu meletakkan KOMA sebelum DEH, KOK, SIH, KAN, LO/LHO, DONG.YA, NGGAK. Mengapa tak perlu ada tanda koma sebelum YA dan NGGAK? “Ya” dan “nggak” itu pun bukan kata sapaan, sehingga tak perlu menuliskan koma lebih dulu.

Sehingga, editlah seperti ini:

“Oh ya, hmm, aku mau tanya samabapak yang pakai baju biru deh, boleh nggak ya?”
“Kamu kok nggak capek sih, Kak? Padahal, kamu kan baru datang ya?”
“Eh, kamu sekarang sudah nggak ngantuk dong?”

Contoh lain :

Aku mengetahui keberadaanmu di situ ketika kamu berpura-pura tak melihatku dan parahnya kamu terlihat memaksakan diri menggandeng cewek itu supaya orang-orang tahu bahwa kamu sudah ada yang memiliki.

--

Perhatikan kalimat panjang di atas. Alih-alih menginginkan pembaca tidak kehabisan napas saat membacanya, kita malah menempatkan beberapa tanda koma yang tak perlu sama sekali dan hasilnya menjadi seperti ini:

-

Aku mengetahui keberadaanmu, di situ, ketika kamu berpura-pura tak melihatku, dan parahnya, kamu terlihat memaksakandiri, menggandeng cewek itu, supaya orang-orang tahu, bahwa kamu sudah ada yang memiliki.

-

Memasang tanda koma sebanyak 7 buahdalam kalimat itu mungkin maksudnya baik. Namun kenyataannya, tanda koma sebanyak itu malah menjadikan pembaca lelah dan bingung karena hampir tidak ada kejelasan tentang anak kalimat dan induk kalimat. Untuk itu, pastikan bahwa paling tidak kita bisa memenggalnya menjadi dua kalimat dan menempatkan tanda koma seperlunya saja.

Sehingga, didapatkan revisi kalimat seperti ini :

Aku mengetahui keberadaanmu di situ ketika kamu berpura-pura tak melihatku. Parahnya, kamu terlihat memaksakan diri menggandeng cewek itu supaya orang-orang tahu bahwa kamu sudah ada yang memiliki.

(b) Elipsis 

Zaman dulu, kita mungkin paling hobi memasang titik banyak-banyak seperti dalam kalimat ini


“Tunggu akuuu……….!” Ia berteriakdari kejauhan.

“Allahu akbar……….” Hatinya berbisik takjub.

“Tidak…………………………!” teriakku sambil menangkap tubuh yang bersimbah darah itu.


Bagi kita yang sudah sadar elipsis, pasti ketawa melulu dah jika menemukan penggalan dialog seperti itu dalam naskah jadul kita. Ingat, titik-titik banyak itu sangatlah tidak berguna, boroscharacter with spaces, dan tidak membantu menjelaskan bahasa tubuh apa pun kepada pembaca selagi penanda dialognya sudah sangat jelas.

Maka, buanglah semua titik itu jika memang kita tak memerlukannya.

“Tunggu aku!” Ia berteriak dari kejauhan.
“Allahu akbar,” hatinya berbisiktakjub.
“Tidak!” teriakku sambil menangkap tubuh yang bersimbah darah itu.

Nah, jikalau saat ini kita masih menemukan titik-titik dalam novel-novel baru, hampir bisa dipastikan jumlah titiknya tak pernah lebih dari tiga buah (…) dengan satu spacebar sebelum dan sesudahnya. Inilah yang dinamakan Elipsis.

Elipsis disebut sebagai salah satu gaya bahasa juga. Majas elipsis digunakan untuk menghilangkan kata-kata yang sebenarnya ada dalam kalimat tersebut.

“Dengarlah aku, aku jatuh hatipadamu sejak pertama kita bertemu,” ungkapnya, terus terang.

Nah, karena menggunakan majas elipsis, kalimat di atas berubah menjadi seperti ini :

“Dengarlah aku, aku … padamu sejak pertama …,” ungkapnya.

Elipsis yang pertama menghilangkan “jatuh hati” dan elipsis yang kedua menghilangkan “kita bertemu”.

0 comments: